Sejarah
kodifikasi hadis
Disusun oleh :
Mayang safira rizal
NIM : 14530024
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
FAKULTAS
USHULUDDIN dan PEMIKIRAN ISLAM
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Assalamualaokumwarahmatullahiwabarakatuh
Tiada
kata yang paling mengagumkan selain ucapan “alhamdulillah” yang patut kita
ucapkan kepada Allah SWT, dimana kita masih diberikan nikmat akal dan pikiran
sehingga penyusun bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “sejarah kodifikasi
hadis” ini dan juga mata yang sempurna sehingga para pembaca dapat melihat dan
membaca hasil karya yang telah kami susun.
Semoga
makalah ini besar manfaatnya bagi kita semua, khususnya dapat membantu untuk
lebih mengetahui tentang pelajaran hadis khususnya sejarah kodifikasi hadis
yang menjadi salah satu materi mata kuliah. Aamiin .
Penyusun
juga memohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini baik dari segi bahasa,
pembahasan, ataupun penulisan.
Terimakasih
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis
adalah berita tentang segala hal yang dilakukan oleh rasulullah Muhammad. Hadis
adalah sumber hukum Islam yang ke dua setelah al-Qur’an. Hadis adalah penjelasan
dan penguat al-Qur’an. Tanpa adanya hadis banyak ayat al-Qur’an yang tidak
dapat dipahami oleh manusia, sebab hadis sejatinya adalah ucapan, perbuatan dan
ketetapan rasulullah Muhammad, rasulullah diutus oleh Allah untuk menjelaskan
isi al-Qur’an kepada manusia. Saat di zaman Nabi hadis belum terkodifikasi (pembukuan)
secara utuh. Pada awalnya nabi melarang para sahabat unutuk melakukan penulisan
hadis, hal itu dikarenakan Nabi ingin para sahabat lebih fokus melakukan
pemahan terhadap al-Qur’an.
Dari Abu Sa’id al-Khuduri,
Rasulullah berkata :
لَا تَكْتُبُوْا ئَنَّي
شَيْئًا إلَّا اْلقُرْاَنَ فَمَنْ كَتَبَ ئَنَّي غَيْرَ الْقُرْاَنَ فَلْيَمْحَهَ
وَحَدَّثُوْا ئَنَّي وَلَا حَرَجٌ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّا
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“jangan kalian menulis sedikitpun dariku kecuali al-Qur’an. Barang
siapa menulis dariku selain al-Qur’an, hendaknya dia menghapusnya dan
ceritakanlah dariku, tidak mengapa. Tetapi barang siapa sengaja berdusta atas
namaku, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduk baginya di neraka.” (Shahih :
Mukhtashar shahih Muslim no.1861; shahih al-Jami’ no. 7434)
Pada saat bersamaan, ada beberapa sahabat yang cerdas dan visioner.
Mereka seolah menangkap makna tersirat dari ucapan-ucapan Nabi, bahwa akan
datang suatu masa yang pada waktu itu hadis-hadis nabi dilupakan, diabaikan,
dan tidak digunakan lagi. Mereka yakin jika hadis-hadis Nabi tidak di catat,
akan banyak kerusakan di tubuh umat Nabi Muhammad. Mereka berinisiatif menulis
hadis-hadis nabi dan mereka simpan baik-baik. Di antar mereka adalah Abdullah
bin Amr bin al- Ash, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Samurah bin
Jundub, dan lainnya. Ada beberapa yang mendapat izin resmi dari rasulullah, di
antaranya Abu Syah al-Yamani dan Anas bin Malik.
Nabi melarang adanya penulisan hadis melainkan karena Nabi takut
bercampur aduknya ayat-ayat al-Qur’an dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad,
dimana pada saat itu para sahabat sedang menulis ayat-ayat al-Qur’an beserta
mendengarkan penjelasan dari Nabi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian sampai
pada masa dimana Nabi Muhammad merasa bahwa sudah saatnya mencatat hadis-hadis
dari beliau, maka pada saat itu Rasulullah berkata
اُكْتُبْ
!فَوَ الَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إلَّا حَقٌ
“
tulislah (hadis-hadis dariku). Demi yang diriku berada ditanganNya, tidaklah
keluar dari lisanku kecuali kebenaran.” (Shahih : Sunan Abu Dawud no. 3646.
Shahih al-Jami’ no. 1196; ash-Shahihah no.1532)
Sampai Rasulullah wafat hadis-hadis beliau belum terkodifikasi
secara utuh. Kemudian sampai pada generasi setelah Atba’
Tabi’ At-Tabi’in, pada masa ini baru melakukan kodifikasi hadis lebih
komprehensif. Para ulama menulis kitab-kitab hadis dengan berbagai corak yaitu
musnad, mushannaf, shahih, jami’, sunan, dan mustakhraj. Masing-masing kitab
hadis ini memiliki nilai yang membedakan dengan lainnya, sehingga dikalangan
para ulama ada semacam kategori dan hirarki.
Dalam penyusunan makalah ini menemukan beberapa rumusan masalah yang akan
menjadi pembahasan, di antaranya :
1. Pengkodifikasian yang dilakukan secara resmi
2. Macam-macam kitab hadis
3. Para ahli hadis yang pertama kali menyusun kitab hadis.
Manfaat dari pembahasan yang ada dalam makalah ini antara lain :
1. Mengetahui pada masa dan era berapa hadis dikodifikasi secara resmi
2. Mengetahui macam-macam kitab hadis,
serta perbedaan-perbedannya dari kitab-kitab hadid yang lain
3. Agar mengetahui siapa ahli hadis yang pertama kali menyusun kitab hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kata kodifikasi dalam
bahasa Arab dikenal dengan al-tadwîn yang berarti codification,
yaiutu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah kodifikasi adalah penulisan
dan pembukuan hadis Nabi secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan
melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan
secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Kodifikasi hadis di maksud
untuk menjaga hadis Nabi dari kepunahan dan kehilangan, baik dikarenakan
banyaknya periwayat penghafal hadis yang meninggal maupun karena adanya
hadis-hadis palsu yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis Nabi.
Kodifikasi hadis yang
di maksud di sini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadis-hadis
Nabi yang dilakukan berdasarkan perintah resmi khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azis
(99-101 H/717-720 M), khalifah kedelapan Bani Umayyah, yang kemudian
kebijakannya itu ditindak lanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga
pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan di dalam kitab-kitab hadis.[1]
Ide penghimpunan hadis
Nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh ‘Umar ibn al-Khathab (w. 23
H/644 M). Untuk merealisasikan idenya itu, ‘Umar bermusyawarah dengan para
sahabat Nabi dan beristikharah. Para sahabat menyetujui idenya itu tetapi setelah
sekian lama istikharah, ‘Umar sampai kepada kesimpulan bahwa ia tidak akan
melakukan penghimpunan dan kodifkasi hadis, karena khawatir umat Islam akan
berpaling dari al-Qur’an.
Sebagian ulama berpendapat,
sebagaimana dalam kitab Thabaqhat Ibn Sa’ad, Tahdzib al-Tahdzib dan Tadzkirah
al-Huffazh, bahwa pengumpulan hadis sudah dimulai pada masa ‘Abd al-‘Aziz ibn
Marwan ibn Hakam (W. 706 M) yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Mesir.
Ia memerintahkan Katsir ibn Murrah al-Hadhrami (W. 688 M) untuk mengumpulkan
hadis Rasulullah. Hanya saja, menurut mayoritas ulama hadis, kodifikasi hadis
secara resmi pertama kali dilakukan pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azis ketika menjadi khalifah Bani
Umayah (99-101 H), anak dari ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan lebih bersifat gagasan,
atau kalaupun sudah terjadi kodifikasi lingkupnya lebih sempit karena hanya
dalam batas wilayah provinsi Mesir saja tidak keseluruhan wilayah Islam sebagaimana
masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz.
Dengan demikian,
kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz,
salah seorang khalifah Bani Umayah. Proses kodifikasi hadis yang baru dilakukan
pada masa ini dimulai dengan khalifah mengirim surat ke seluruh pejabat dan
ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H yang berisi perintah agar
seluruh hadis Nabi dimasing-masing daerah segera dihimpun, ‘Umar
yang didampingi Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M),
seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, menggalang agar para ulama hadis
di masing-masing daerah mereka. Al-Zuhri berhasil menghimpun hadis dalam satu
kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah
ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpun hadis selanjutnya. ‘Umar juga
memerintah Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan
hadis yang terdapat pada Amrah binti ‘Abd al-Rahman (murid kepercayaan ‘Asiyah)
dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq.[2]
a. Kodifikasi Hadis pada Masa Nabi Muhammad
Masalah penulisan hadis
pada Nabi SAW., secara lebih deti, dapat dilihat dari riwayat-riwayat berikut;
Pertama: Riwayat yang
menerangkan adanya larangan penulisan hadis yaitu
a) Hadis riwayat Abu Said al-Khudriy, Nabi SAW bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا
عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya: “jangan sekali-kali kamu menulis padaku selain al-Qur’an,
barang siapa yang menulisnya, hendaklah dia menghapusnya.”
b) Juga hadis riwayat Abu Said al-Khudriy:
قَالَ اَبُوْ
سَعِيْدٍ اَلحُذْرِيِّ جَهَّدَنَا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَنْ يَأْذَنَ لَنَا فِى الكِتَابَةِ فَأَبَى
Artinya: “kami telah meminta secara sungguh-sungguh kepada Nabi SAW.
Agar beliau mengizinkan kami menulis hadis, tetapi beliau tetap menolaknya.”
Kedua: Riwayat tentang kebolehan menulis hadis, yaitu
a) Hadis riwayat Abu Hurairah mengatakan, seorang sahabat Anshar yang
mengikuti majlis Nabi, mengeluh kepada
Rasul karena ia lemah di dalam mengingat apa-apa yang disampaikan Rasul (hadis)
di masjid itu. Rasul kemudian berkata kepadanya:
اِسْتَعِنْ
عَلَى حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ
Artinya: “mintalah pertolongan tanganmu untuk menghafalkannya.”
b) Hadis riwayat Anas bin Malik, Rasulullah SAW, bersabda:
... فَيِّدُوْا الْعِلْمَ بِالكِتَابَةِ
Artinya: “ikatlah (atau pelajarilah) ilmu dengan tulisan (menuliskannya).”
Dalam menanggapi hadis-hadis tentang larangan dan kebolehan di atas, para
ulama berbeda pandangan, yaitu:
a) Ar-Ramahrumuzi mengatakan, larangan menulis hadis terjadi pada masa
permulaan Islam. Ketika itu, mayoritas umat Islam masih belum bisa menulis,
juga belum dapat membedakan antara al-Qur’an dan hadis sehingga Nabi SAW
khawatir keduanya bercampur.
Tetapi setelah kekhawatiran itu hilang, sebab umat Islam sudah bisa
membedakan antara al-Qur’an dan hadis, Nabi SAW pun memperbolehkan menulis hadis.
b) Sebagian ulama berpendapat bahwa
yang dilarang Nabi bukanlah menulis hadis melainkan mengumpulkan tulisan
keduanya (al-Qur’an dan hadis) dalam satu mushaf sebagai satu buku catatan.
Sebab sebagian sahabat, ktika mendengar ta’wil-ta’wil ayat, sering
menuliskannya bersama ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, larangan tersebut
hanya ditujukan kepada sahabat-sahabat itu ( karena dikhawatirkan terjadi
kekaburan). Adapun kebolehan menulis hadis diperuntukkan bagi sahabat yang mau
mencatat hadis dalam buku tersendiri dan untuk keperluan pribadi, seperti Abi
Syah.
c) Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa hadis yang melarang itu bersifat umum
(‘am), yang kemudian di-takhshish dengan hadis yang membolehkan. Tetapi
kebolehan ini ditujukan hanya kepada mereka yang benar-benar telah menguasai
baca-tulis sehingga tidak ada kehkawatiran akan terjadinya kekeliruan dalam
penulisan. Di atas semua itu, mereka juga harus benar-benar dapat membedakan
antara al-Qur’an dan hadis, seperti Abdullah bin ‘Amr bin Ash.
Dari seluruh penjelasan di atas, dapatkah dinyatakan bahwa antara hadis
yang melarang dan yang memperbolehkan tidak terdapat yang prinsipil. Juga dapat
diambil pemahaman bahwa laragan tersebut hanya jika hadis dilembagakan secara
resmi, seperti kelembagaan al-Qur’an. Adapun kebolehannya, jika pelembagaan
hadis tidak bisa dihindari, hendaklah diartikan sebagai suatu kelonggaran dalam
hal-hal tertentu saja, seperti dalam nishab zakat. Selain itu, juga bisa dipahami
sebagai kelonggaran bagi para sahabat yang menulis hadis untuk catatan pribadi.
Hal ini diperbuat dengan hadis riwayat ad-Dhahhak yang mengatakan, “Jangan
menggunakan lembaran yang sama dengan al-Qur’an untuk mencatat hadis.”[3]
b. Kodifikasi Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Periode ini terjadi
pada masa khulafaur rasyidin, atau apa yang dikenal dengan sebutan “zamanut
tatsabbuti wal iqlali minarriwayah,” yakni masa pengukuhan dan
penyederhanaan riwayat. Pada masa ini, hadis masih tetap dihafal.masalah
penulisannya belum dianggap mendesak. Keterbatasan tenaga dan saranapun
menyebabkan penulisan hadis dianggap bisa mengganggu perhatian para sahabat
dalam upaya penulisan al-Qur’an. Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai khalifah
pertama mengeluarkan kebijakan yang melarang para sahabat untuk menulis hadis.
Bahkan, ia membakar 500 buah hadis yang sudah dicatatnya.
Selanjutnya, pada masa
Umar bin Khattab, akibat masih adanya kekhawatiran akan terganggunya perhatian
para sahabat dalam program penulisan al-Qur’an, niat khalifah untuk membuata program
penulisan hadispun diungkapkan. Apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan
rencana tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa riwayat berikut:
a) Hadis riwayat Ibnu Abdil Bar dan Malik ibn Anas katanya:
عَنْ أَنَسٍ
اَنَّ عُمَرَ قَالَ عِنْدَ مَا عَدَّلَ عَنْ كِتَابَ السُّنَّةِ " لاَ
كِتَابَ مَعَ كِتَابَ الله
Artinya: “ dari sahabat Anas, bahwa Umar, ketika bermaksud menulis
(menta’dil) beberapa hadis,berkata; tidak boleh ada suatu kitab yang muncul
bersama-sama kitabullah.”
b) Hadis riwayata Yahya bin Ja’d mengatakan, “ Umar bin Khattab bermaksud menulis hadis, lalu brubahlah pendiriannya
untuk tidak menulis ...” kemudian, ia berkirim surat kepada pendudu kota yang
isinya sbb:
من كَانَ
عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْئٌ فَلْيَمْحِهِ
Artinya: “... siapa saja dari mereka yang memiliki tulisan-tulisan
hadis, hendaklah segera menghapusnya.”
Dari riwayat di atas, tampak jelas kekhawatiran Abu Bakar dan Umar bin
Khattab terhadap akibat yang mungkin dimunculkan buku-buku catatan hadis yang
ada pada saat itu. Akibat yang paling dicemasan adalah kelengahan mereka
terhadap al-Qur’an, baik dalam menghafal maupun mengkaji isinya, sebagaimana
pernah terjadi pada umat terdahulu (ahli kitab). Sekalipun demikian, penulisan
hadis tetap saja dilakukan oleh para sahabat, di antaranya Ibnu Mas’ud, Ali bin
Abu Thalib, Aisyah dan lainnya. Tidak mengabaikan sikap hati-hati dalam
menerima ataupun manyampaikan hadis. Selalu meneliti ulang apa yang mereka
terima sebelum menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa ketika itu semangat para sahabat
dalam menyampaikan hadis kepada sahabat lain sangat tinggi. Sekalipun kebijakan
yang di ambil pemerintah dalam menyikapi penyebara hadis sangat hati-hati,
bahkan terkesan membatasi, hingga orang yang telah menerima hadis tidak perlu
menyampaikannya kepada orang lain kecuali diperlukan.
Oleh sebab itulah, krakter yang menonjol pada periode ini adalah kuatnya
komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara
memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf. Mereka tidak berani menulis
hadis kecuali al-Qur’an sudah terkumpl dan tidak mungkin tercampur dengan
sesuatu selain al-Qur’an.
Adapun sahabt yang melakukan periwayatan hadis lebih dari 1000 buah
(dikenal dengan sebutan bendaharawn hadis) adalah:
1. Abu Hurairah, yaitu Abdurrahman bin Shahr ad-Dusiy al-Yamaniy, berjumlah
5.374 buah
2. Abdullah bin Umar bin Khattab, sejumlah 2.630 buah
3. Anas bin Malik 2.276 buah
4. Aisyah bin Abu Bakar as-Shiddiq, Ummil Mu’minin, Istri Rasulullah,
berjumlah 2.210 buah
5. Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muthaib, berjmlah 1.660 buah
6. Jabir bin Abdullah al-Anshariy, berjumlah 1.540 buah
7. Abu Sa’ad al-Hidlriy, yaitu Sa’ad bin Malik bin Sannan al-Anshariy,
berjumlah 1.170[4]
c. Kadifikasi Hadis Abad II Hijriah
Pada abad kedua, para
ulama tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan
hadis-hadis saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in di masukkan juga kedalam
kitab-kitab mereka. Sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-hadis marfu’,
mawquf, dan hadis-hadis maqthu’.
Pada abad kedua ini
ulama yang berhasil menyusun kitab tadwin dan sampai kepada kita adalah Malik
ibn Anas (93-179 H) yang menyusun kitab al-Muwatha’. Kitab ini disusun sejak
tahun 143 H. Pada masa khalifah Bani Abbasiyah. Kitab ini tidak hanya memuat
hadis Rasul saja, tetapi juga para sahabat dan tabi’in bahkan tidak sedikit
yang berupa Malik sendiri atau praktik ulama dan masyarakat madinah. Imam
Syafi’i, muridnya, memberikan pujian terhadap karaya Imam malik ini dengan
sebutan: kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah muwaththa’ Malik.
Menurut Hasbi
ash-Shiddieqy, di atara kitab-kitab pada abad kedua, kitab ini termasuk salah
satu yang mendapat perhatian umum ulama. Kitab ini menjadi perhatian dan
rujukan dalam kajian hadis dan sirah. Meskipun pada abad kedua hadis tidak
dipisahkan dari para fatwa sahabat dan pendapat tabi’in. Pada abad ini sudah
ada pemisahan antara hadis-hadis umum dengan hadis-hadis tafsir, sirah, dan
maghazi.
Abad kedua ini juga
diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadis yang telah ada semenjak masa khalifah
Ali ibn Abi Thalib (w. 41 H). Pada abad kedua, kegiatan telaah terhadap ahwal
al-ruwah (keberadaan para periwayat hadis) semakin diintensifkan, meskipun saat
itu belum terbentuk ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam bentuk di siplin ilmu yang
mandiri.[5]
d. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah
Pada abad ketiga ini disebut
juga dengan masa ‘ashruttajjridi wattshrih watanqih, yaitu merupakan masa
penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan
tabi’in.[6] Masa
penyeklesian ini terjadi pada zaman Bani Abbasiyah, yakni masa al-Ma’mun sampai
al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Pada saat ini pula mulai dibuat
kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah apakah suatu hadis itu
sahih atau dhaif. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi,
lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab hadis hasil karya mereka
disebut dengan istilah musnad. Meskipun dilakukan penyelidikan,
hadis-hadis yang disusun dalam kitab musnad di atas masih tercampur antara
hadis yang shahih, hasan, dan dha’if.[7]
Pada masa ini umat
Islam juga menghadapi ujian dan fitnah yang sangat hebat, tetapi gairah,
ketekunan, dan semangat menjaga kemurnian ajaran Islam tetap menyala di hati
para ulama yang mengabdikan diri dalam bidang hadis. Lahirlah ulama-ulma besar
dalam bidang tersebut. Hingga masa ini dianggap masa yang paling sukses dalam
program pembukuan hadis.
Adapun ulama yang
pertama kalimelakukan penyaringan hadis-hadis shahih ialah Ishaq ibn Rahawaih,[8]
dilanjutkan oleh al-Imam Abu Abd Allah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (194-256
H/810-870 M), dengan menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’
al-Shahih (sahih bukhari) dan diteruskan oleh muridnya, bernaam Muslim ibn
al-Hajjaj al-Qusyayri (204-261 H/817-875 M) dengan kitabnya Shahih Muslim.
Pada waktu yang hampir
bersamaan, Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani (202-275 H/819-888 M)
menyusun kitab Sunan Abi Dawud. Di lanjutkan Abu Isa Muhammd ibn Isa ibn Surah
al-Turmudzi (824-892 M) dengan kitabnya Sunan al-Turmudzii, Ahmad ibn Syu’aib
al-Khurasani al-Nasa’i (215-303 H/830-915 M) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i,
kemudian Abd Allah ibn Muhammad ibn Yazidibn ibn Abd Allah al-Qazwini (ibn
Majjah) (207-273 H/824-887 M) dengan karyanga ibn Majjah. Keenam kitab di atas
oleh ulama hadis disebut dengan al-Kutub al-Sittah.[9]
e. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah
Kalau abad pertama,
kedua, dan ketiga, hadis berturut-turut hadis mengalami masa periwayatan,
penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,
yang sistem pengumpulan hadisnya didasarkan kepada usaha pencarian sendiri
untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad
keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan.[10] Pada
masa ini terjadi pemisahan dua pola dan sistem pemikiran di kalangan para
ulama, yang bahkan menjadi awal terjadinya pemisahan antara kelompok ulama mutaqaddimin
(ulama yang terlihat sebelum abad keempat) dan mutaakhirin (yang
terlibat dalam kodifikasi hadis pada abad keempat dan seterusnya).[11]
Pembukuan hadis pada
periode ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan variasi pen-tadwin-an
terhadap kitab-kitab hadis yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari
kemunculan al-Kutub al-sittah, al-Muwaththa’ Imam Malik
ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian
untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk jawami, takhrij, athraf,
syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadis untuk topik-topik tertentu.
Dengan demikian,
usaha-usaha ulama pada abad-abad ini meliputi beberapa hal berikut:
1. Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dlam sebuah kitab.
2. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab.
3. Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab ke dalam satu kitab.
4. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab hadis.
5. Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadis yang terdapat dalam kitab
sahih al-Bukhari dan sahih Muslim sebagai petunjuk kepada materi hadis secara
keseluruhan.
6. Men-takhrij dari kitab-kitab hadis tertentu, kemudian meriwayatkannya
dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada di dalam kitab-kitab
tersebut.
f. Kodifikasi Hadis Abad Tujuh Hijriah Sampai Sekarang
Kodifikasi hadis yang
dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-kitab
hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab
jamik yang umum , kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hukum, mentakhrij
hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrij hadis-hadis yang
terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadis-hadis
disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadis-hadis dalam sahih
al-Bukhari dan sahih Muslim, mentashih sejumlah hadis yang belum di tashih oleh
ulama sebelumnya, mengumpulkan hadis-hadis tertentu sesuai topik, dan
mengumpulkan hadis dalma jmlah tertentu.[12]
Litab-kitab yang dibuat
pada masa ini antara lain :
1. Kitab-kitab athraf
2. Kitab jami’
3. Muntaqa al-Akhbar fi ahadis al-Ahkam
4. Al-mukhtarah
5. Riyadh al-Shalihin, al-Arbain, dan aeba’in al-Nawawi
6. Subul al-Salam
7. Fath al-Allam, dll
Adapun daerah yang menjadi pusta penggalian hadis dan dikenal dengan
sebutan Dar al-Hadis saat tu adalah :
1. Mesir
2. India
3. Saudi arabiyah
Dan ada pula ulama yang melakukan penelitian hadis pada masa ini, seperti
Habibullah asy-Syaniqiy dengan karyanya:
1. Zadul Muslim Fima Ittafaqa alaihi al-Bukhari wa Muslim
2. Fathul Mun’im bi bayani Ma Uhtija Libayani Man Zada al-Muslim.[13]
B. Macam-macam Kitab Hadis
Pembagian kitab hadis menjadi beberapa tingkatan, berdasarkan tinjauan dari
sis kualitas muatan materi hadisnya, sedang jika di tinjau dari segi metode dan
sistem penulisannya, maka jitab-kitab hadis dapat di klasifikasikan menjadi
beberapa macam, di antaranya adalah :
1. Kitab Shahih ialah kitab hadis yang
sistem penulisannya khusus bermuatan hadis-hadis sahih. Termasuk dalam kategiri
kitab ini adalah kitab sahih al-Bukhari, Muslim, dan kitab sahih lainnya.
2. Kitab Jawami’ ialah kitab yang
ditulis dengan menggunakan metode kualifikasi substansi makna kandungan
hadisdalam pokok pembhasan tertentu, yang kemudian disusunnya dengan
menggunakan sistem bab per bab dari istilah-istilah bab ilmu, terdiri dari bab
akidah, hukun memerdekakan budak, etika makan dan minum, tafsir dan sejarah,
bepergian, etika berdiri dan duduk yang dikenal dengan bab “syamail”, fitnah,
manaaqib (keistimewaan-keistimewaan dalam biografi), dan bab mathaalib
(kondisi-kondisi buruk dalam biografi). Yang termasuk kategori kitab ini adlah
jami’ al-Bukhari dan jami’ al-Turmudzi.
3. Kitab Masaanid, bentuk jama’ dari
kata musnad, ialah kitab yang disusun dengan menggunakan metode klasifikasi
hadis dan berdasarkan nama-nama sahabat, yang termasuk dalam kategori kitab ini
adalah kitab Musnad Ahamad bin Hanbal.
4. Kitab Mustadrakaat, jama’ dari kata
mustadrak, ialah kitab yang ditulis oleh pengarangnya sebagai materi susulan
terhadap materi hadis yang telah disebutkan oleh seorang pengarang dalam suatu
kitabnya, karena tidak sesuai dengan syarat-syaratnya. Yang termasuk dalam
kategori kitab ini yang paling populer adalah Mustadrak al-Hakim terhadap dua
kitab shahih al-Bukhari dan Muslim.
5. Kitab Mustakhrajaat ialah kitab-kitab hadis
yang bermuatan hadis-hadis yang bersifat sinopsis dari kitab-kitab yang sudah
populer, yang kemudain oleh pengarangnya diriwayatkan dengan menggunakan
sanadnya sendiri, dengan menggunakan metode menemukan sanad-sanadnya sendiri
dengan sanad-sanad kitab yang diambilnya yang bertumpu kepada seorang guru,
atau seorang guru di atas gurunya, tidak menggunakan pengarang kitab-kitab
hadis yang diambilnya itu. Yang termasuk kategori kitab ini adalah kitab
Mustakhrajat Abu Ali al-Thusi terhadap kitab al-Turmudzi.
6. Kitab Ajza’, jama dari kata Jaz,
ialah kitab yang disusun dengan menggunakan metode dan sistem penulisan
himpunan hadis-haidsyang diriwayatkan dari seorang sahabat, atau orang-orang
sesudahnya. Yang termasuk dalam kategori kitab ini adalah kitab Juaz Abu Bakar,
kitab Juz dalam maalah Qiyamu al-Lail karya al-Marwazi, dll.[14]
7. Kitab al-Jaza’ atau kitab al-Juz adalah kitab hadis yang hanya mengoleksi satu topik hadis, seperti kitab
al-Faraidh karya zaid bi Tsabit. Di samping itu al-Ajza juga mengoleksi
hadis-hadis yang hanya diriwayatkan seorang prawi dari generasi sahabat atau
ganarasi sesudahnya, seperti kitab al-Wuhdan karya Imam Muslim, dll.
8. Kitab al-Athraf ialah kitab hadis yang
redaksi matannya tidak ditulis secara lengkap, hanya awalnya saja, tapi semua
sanadnya disebutkan, seperti kitab Atrofu Assohihaini karya Abu Mas’ud Ibrahim
bin Muhammad bin Ubaidillah ad-Damsiqi (w.401 H), Abu Muhamad al Washiti (w.401
H), Abu Nu’aim al-Asbahani, Ibnu Hajar al-Asqalani.
9. Kitab as-Sunan ialah kitab yang metode
penyusunannya didasarkan kepada bab-bab fiqh, penyusunannya menjelaskan status
hadis-hadis di dalamnya, yang secara kua;itas berbeda-beda, bercampur antara
hadis shahih, hasan, dna dha’if.[15]
C. Ulama Hadis yang Pertama kali Membukukan Hadis
Pada abad pertama
Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin dan sebagian
besar zaman umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu
berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan
kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk
membukukannya.
Ketika kendali khalifah
dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai
seorang khalifah dari dinasti umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau
dipandang sebagai khalifa rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk
membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan
hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau
khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya,
memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk menghasilkan
maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta kepada Gubernur
Madinah, Abu bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk membukukan hadits
Rasul dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar
Ash Shiddieq. Umar bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang
bunyinya :
“Lihat dan
periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah
karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda
terima selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan
ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”
Disamping itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada
gubernur ke wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan
hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing. Di antara
ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu ialah Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang
ahli dalam urusan fikih dan hadits.
Kitab hadits yang
ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis
atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan
semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Membukukan hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin
Muslim bin Syihah az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama
besar dari ulama-ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu,
berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas as
Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah abbasiyah.
Pada zaman dahulu
menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh juga mereka
dengan senang hati menyusun hdits tanpa meminnta imbalan. Karena
mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, ddan ini
bukanlah suattu pekerjaan yang hharus diberi upah. Ulamma’ zaman dahulu
benar-benar berbeda dengan ulama’ zaman sekarang, mereka benar-benar berjuang
di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun.
Para pengumpul pertama
hadits yng tercatat sejarah adalah :
a) Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H/669 M - 150 H/767 M).
b) Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (151 M - 768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik
bin Anas ( 93 H/703 M - 179 H/798 M ).
c) Di kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (160 H/ 777 M), atau Hammad bin
Salamah (176 H), atau Sa’id bin Arubah ( 156 H/773 M ).
d) Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
e) Di Syam, al Auza’y (156 H ).
f) Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H/772 M - 188 H/ 804 M ).
g) Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H/ 753 M - 153 H/ 770 M ).
h) Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H/ 728 M - 188 H/ 804 M ).
i)
Di Khurasan, bin
Mubarak (118 H/ 735 M - 18 H/ 797 M ).
j)
Di Mesir, al Laits bin
Sa’ad ( 175 M ).
Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam
dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. atas
permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H.
Kitab al Muwaththa’
dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada
kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhory belum muncul, dari
sistematika itu yang paling baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kodifikasi hadis secara
resmi baru dilakukan pada abad kedua hijriah, kemudian abad ketiga merupakan
masa pemurnian dan penyempurnaan penulisan hadis, abad keempat sampai dengan
ketujuh adalah masa pemeliharaan, penertiban, dan penambahan dalam penulisan
hadis, abad ketujuh sampai dengan sekarang merupakan masa pensyarahan, penghimpunan,
pentakhiran, dan pembahasan hadis.
Kitab hadis ada
sembilan macam di antaranya adalah
1. Kitab Shahih
2. Kitab Jawami’
3. Kitab Masaanid
4. Kitab Mustadrakaat
5. Kitab Ajza’
6. Kitab Mustakhrajaat
7. Kitab al-Jaza’ atau kitab al- Juz
8. Kitab al-Athraf
9. Kitab as-Sunan
Ulama yang membukukan hadis pertama adalah Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang
ahli dalam urusan fikih dan hadits, atas perintah Umar. Tetapi kitabnya tidak
bisa sampai di tangan kita di karenakan tidak terpelihara dengan semestinya.
Dan yang menjadi Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini
ialah al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. atas permintaan
khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H.
Daftar Pustaka
Al-Maliki Muhammad Alawi. 2009.
ILMU USHUL HADIS. Yogyakarta: PUSTAKAPELAJAR.
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta:
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
Mudasir. Ilmu HADIS. 2010.
Bandung. CV PUSTAKA SETIA.
Zein Ma’sum. 2012. Ilmu Memahami
Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan Musthola Hadis”. Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN.
[3]
Ma’sum Zein,
Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan Musthola
Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2012), hal 60.
[4]
Ma’sum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan
Musthola Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2012), hal 64.
[6]
Ma’sum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan
Musthola Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2012), hal 72.
[8] Ma’sum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis
Menguasai Ulumul Hadis dan Musthola Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN,
2012), hal 73.
[11]
Ma’sum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan
Musthola Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2012), hal 76.
[13]
Ma’sum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan
Musthola Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2012), hal 77-79.
[14] Muhammad Alawi Al-Maliki, ILMU USHUL HADIS(Yogyakarta:
PUSTAKAPELAJAR, 2009), hal 245-247.
[15]
Ma’sum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi ”Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan
Musthola Hadis” (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2012), hal 247-254.
The Most Successful Sites for Crypto, Casino & Poker - Goyang
BalasHapusGoyang Casino & Poker is one of the most goyangfc.com famous and well known crypto gambling sites, founded in gri-go.com 2012. https://febcasino.com/review/merit-casino/ They are popular because of 도레미시디 출장샵 their great งานออนไลน์